Perayaan Siwa Ratri
adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu
memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan
ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai
Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia,
karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat
Hindu diharapkan melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri,
pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran
diri (atutur ikang atma ri jatinya).
Siwaratri merupakan sebuah momentum guna menyadarkan diri akan hakikat kita
sebagai manusia yang sesungguhnya mempunyai sinar suci (Siwa) namun kita telah
terbelenggu oleh kegelapan duniawi
Jika di urut dari asal
katanya, siwa latri terdiri dari kata siwa itu dapat diartikan sebagai terang
dan ratri itu dapat diarikan gelap. Jadi Siwaratri dapat diartikan bahwa yang
terang telah menjadi gelap dan yang gelap menjadi terang kembali. Siwaratri juga mengandeung arti Siwa = Tuhan/ Bhatara Siwa; ratri = malam.
Atau malamnya Bhatara Siwa/ Tuhan, saat yang tepat bagi manusia untuk merenungi
kehidupan di masa lampau serta sadar/ eling pada dosa-dosa yang terlanjur, baik
sengaja atau tidak sengaja telah terjadi
Hakekat
pelaksanaan Siwalatri
Secara Tatwa sesungguhnya Siwaratri
merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan
tercapainya kesadaran diri. Siwaratri itu sesungguhnya simbolisasi dan
aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya
'penyatuan' Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa
jagat raya itu sendiri. Sebagai malam perenungan, umat manusia mestinya
melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini.
Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari
perbuatan dosa.
Dalam Bhagavadgita III,
42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau
jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi
(kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam
pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus
selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi
kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk
memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar
terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika
disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa”
sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama. Siwaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia
tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan
kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana
disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah
realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Siwaratri
merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan seluruh
pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Siwaratri dapat
dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan.
Jadi dapat diluruskan kembali anggapan
masyarakat yang mengatakan Bahwa Siwalatri adalah sebagai malam peleburan Dosa
itu adalah keliru. Dalam ajaran Hindu tidak ada peleburan dosa, dosa adalah hasil
perbuatan (karma)
yang harus tetap ditebus oleh akibat (phala).
Dalam Siwaratri umat manusia berusaha menyadarkan diri sehingga terhindar dari
papa (kegelapan pikiran dan jiwa) seperti yang tertuang dalam puja tri sandya
"Om papo'ham
papakarmaham papatma papasambhavah" yang pada akhirnya akan
menghindarkan manusia dari segala perbuatan dosa
Waktu Pelaksanaan Siwalatri
Pelaksanaan Hari Raya Siwalatri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu). yaitu sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering di sebut prawaning tilem kapitu tepat pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu) hal ini mempunyai makna bahwa Prawaning Tilem atau sehari sebelum tilem merupakan malam yang paling gelap dan sasih kepitu merupakan lambang sapta timira, jadi Ida Mpu Kuturan memilih Prawaning Tilem Kepitu sebagai hari perayaan Siwaratri untuk mengingatkan kita bahwa kita yang berasal dari Tuhan (siwa) telah masuk ke jurang kegelapan (ratri) karena pengaruh tujuh sifat kemabukan (pitu). Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa karena pengaruh ikatan duniawi yang kuat manusia telah melupakan asal muasalnya. Karena kuatnya keinginan duniawi maka manusia akan menemuai klesa yaitu kekotoran, menuju ke papa yaitu kegelapan jiwa dan pikiran yang pada akhirya akan bermuara kepada dosa. Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri. Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha Siwa Ratri.
Pelaksanaan Hari Raya Siwalatri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu). yaitu sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering di sebut prawaning tilem kapitu tepat pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu) hal ini mempunyai makna bahwa Prawaning Tilem atau sehari sebelum tilem merupakan malam yang paling gelap dan sasih kepitu merupakan lambang sapta timira, jadi Ida Mpu Kuturan memilih Prawaning Tilem Kepitu sebagai hari perayaan Siwaratri untuk mengingatkan kita bahwa kita yang berasal dari Tuhan (siwa) telah masuk ke jurang kegelapan (ratri) karena pengaruh tujuh sifat kemabukan (pitu). Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa karena pengaruh ikatan duniawi yang kuat manusia telah melupakan asal muasalnya. Karena kuatnya keinginan duniawi maka manusia akan menemuai klesa yaitu kekotoran, menuju ke papa yaitu kegelapan jiwa dan pikiran yang pada akhirya akan bermuara kepada dosa. Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri. Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha Siwa Ratri.
Nilai
Spirit Brata Siwa Latri :
Ada beberapa nilai
spirit atau keutamaan Brata Siwalatri adalah sebagai berikut :
Di antara berbagai
brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu
mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai
jenis tapa dan melakukan berbagai kegiatan Japa atau mantra untuk memuja
keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Siwa Ratri
Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Siwaratri Kalpa menyatakan keutamaan Brata Siwa Ratri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut:
”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu lenyap”.
”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini” (Sivaratri kalpa, 37, 7-8)*
Sumber
sastra atau Itihasa menyangkut Siwa Latri :
Sumber Sastra atau
Itihasa, Sivaratri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi Parwa, dalam
episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak panahnya Arjuna,
menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada perayaan Maha Sivaratri
oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari dinasti Iksvaku. Raja Citrabhanu
bersama istrinya melakukan upawasa pada hari Maha Siwaratri. Rsi Astavakra
bertanya:
“Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upawasa pada hari ini? Sang raja dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang rsi.
“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah selanjutnya mirip dengan kisah Lubdaka di Indonesia.
“Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upawasa pada hari ini? Sang raja dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang rsi.
“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah selanjutnya mirip dengan kisah Lubdaka di Indonesia.
Kekawin Siwalatri Kalpa Karya mpu tanakung
Konon, pada malam siwaratri, dewa
siwa sebagai manifestasi tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan
seorang pemburu bernama lubdaka kemalaman di hutan dan akhirnya menginap. agar
tidak dimakan binatang buas, si lubdaka naik ke pohon dan agar tetap terjaga,
sebagai pengusir kantuk, si lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon
yang dipanjatnya. Dewa siwa konon sangat senang karena lubdaka terjaga dan
‘menemani’ dewa siwa melakukan yoga. maka ketika lubdaka meninggal, saat dewa
yama melakukan pengadilan, datanglah satu utusan yang dikirim oleh dewa siwa, dan membawa
lubdaka ke sorga. padahal, dewa yama hendak mengirimnya ke neraka karena
profesi pemburu adalah dosa, membunuhi binatang binatang tak berdosa demi
kesenangan. sementara, dewa siwa sudah terlanjur ‘sayang’ dengan lubdaka yang
menemaninya suatu malam beryoga, sehingga melakukan intervensi pada putusan
dewa yama.
Makna filosofis yang dapat
dipetik dari cerita ini adalah Lubdaka
adalah seorang pembunuh binatang namun saat bergadang pada malam Siwaratri sang
Lubdaka mendapat sebuah pencerahan dari Tuhan. Sang Lubdaka sebagai pembunuh
binatang, hal dapat kita artikan sebagai seseorang yang telah mampu membunuh
sifat - sifat kebinatangannya, sehingga saat dia sadar (terjaga / tidak tidur)
akan hakikatnya sebagai Siwa (setiap manusia bersumber dari Tuhan / Siwa) yang
telah diliputi maya dan kegelapan (ratri) maka saat itulah kesadaran akan
kesejatian sebagai seorang manusia mulai bersinar. Dalam cerita para
penglingsir kita, Lubdaka juga diartikan sebagai Lud (melepaskan) dan Daki
(kekeotoran). Jadi filososis Lubdaka adalah membuang segala kotoran pikiran
atau rohani.
Purana
- Purana yang membahas Siwa Latri
Siwa Latri juga dimuat
dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar,
seperti berikut:
Purana yang menjadi landasan
perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana,
Siwaratrikalpa, Skanda
Purana, Garuda Purana dan Padma Purana
Pertama, Siva Purana (bagian Jnanasamhita).
pada bagian Jñana Samhita memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara
merayakan malam suci terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog antara seseorang
bernama Suta dan para rsi. Dalam percakapan tersebut, dikisahkan seseorang yang
kejam bernama Rurudruha. Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat
setelah melakukan brata Siwa Ratri. Berkat bangkitnya kesadarannya, ia
tinggalkan semua perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.
Kedua, Skanda Purana (bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut ”kebenaran” Dalam Skanda Purana juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parva
Kedua, Skanda Purana (bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut ”kebenaran” Dalam Skanda Purana juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parva
Ketiga, Garuda Purana (bagian Acarakanda). Bagian ini memuat uraian singkat tentang Sivaratri diceritakan bahwa Parvati bertanya tentang brata yang terpenting. Siva menguraikan tentang pelaksanaan vrata Sivaratri. Seorang raja bernama Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama seekor anjing. Rangkaian kisah inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di atas.
Keempat, Padma Purana (bagian Uttarakanda). Bagian ini memuat percakapan raja Dilipa dengan Wasista. Wasista menceritakan bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama Nisadha. Berkat vrata Sivaratri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Siva loka.
Tata Cara Pelaksanaan Upacara Siwa Latri :
Brata Siwarâtri terdiri dari:
Utama, melaksanakan:
Monabrata
(berdiam diri dan tidak berbicara).
Upawasa
(tidak makan dan tidak minum).
Jagra
(berjaga, tidak tidur).
Madhya, melaksanakan:
Upawasa.
Jagra.
Nista, hanya melaksanakan:
Jagra.
Jagra.
Monabrata
berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai malam (12
jam).
Upawasa
berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan
besok paginya (24 jam).
Setelah itu
sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih dengan garam dan minum air
putih (air tawar tanpa gula).
Jagra yang
dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
Cara
Pelaksanaan
- Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
- Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
- Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
- Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
- Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
- Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang
Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau
dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak
ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang
dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
- Sementara proses itu berlangsung agar tetap
mentaati upowasa dan jagra.
Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
- Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.
Demikian
Urain singkat tentang Upacara Siwalatri semoga ada Hikmahnya dan bermanfaat
bagi kita semua